Senin, 31 Mei 2010

Sejauh Mana Aktivitas Ekonomi Yang Bisa Disebut Riba

ALLAH SWT telah berfirman dalam Alquran yang artinya:  "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS An-Nisa: 29)

Konotasi ayat tersebut di atas, kaitannya dengan pengertian al-bathil , Ibn al-'Arabi al-Maliki dalam kitabnya, Ahkam Alquran, menjelaskan; "Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Alquran yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari'ah." Kemudian istilah riba disebutkan pula dalam Alquran di beberapa tempat secara berkelompok, yaitu surat Al-Rum: 39, Al-Nisa: 160-161, Ali 'Imran: 130, dan surat Al-Baqarah: 275-280. Atas dasar itulah maka para ulama fuqaha membicarakan riba dalam kitab Fiqh Mu'amalah. Selanjutnya, untuk menjelaskan pengertian riba dan hukumnya, mereka menjadikan surat Ali Imran: 130 dan surat al-Baqarah: 278-279 sebagai dasar pijakan. Sebab, di kedua surat tersebut ditegaskan hukum riba. Riba yang dibicarakan dalam Alquran ini disebut riba nasi'ah (riba yang dilarang).

Pada hari ini, para pakar ekonomi memahami lebih banyak lagi bahaya riba mengikuti perkembangan praktik-praktik ekonomi. Di antaranya adalah: buruknya distribusi kekayaan, kehancuran sumber-sumber ekonomi, lemahnya perkembangan ekonomi dan permodalan, pengangguran, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan bahwa aturan syariat ini sarat dengan mukjizat, dan bahwa al-Qur'an ini bersumber dari Allah, bukan dari Muhammad saw.

Distribusi Kekayaan secara Tidak Adil

Praktik kredit dengan bunga hanya terpusat pada individu-individu yang mampu memberi jaminan pelunasan hutang dan bunganya, dan hal itu mengakibatkan konsentrasi kekayaan negara pada sejumlah kecil individu.

Hal ini ditegaskan Dr. Hjalmer Schacht, warganegara Jerman mantan direktur Reichsbank, 'Dengan praktik yang simultan tampak bahwa seluruh kekayaan dunia ini lari kepada sejumlah pemodal, karena pemodal selalu untung dalam setiap bisnis. Sementara kreditur beresiko rugi atau untung. Karena itu, semua kekayaan ini pada akhirnya secara matematis akan mengalir kepada pihak yang selalu beruntung.'

Fenomena lain distribusi kekayan yang tidak adil adalah subordinasi profesionalisem terhadap kapitalisme. Produksi sesungguhnya berpijak pada dua unsur: keahlian dan modal. Keahlian-lah yang seharusnya menjadi fundamen, karena keahlian menghasilkan kekayaan, dan implikasinya adalah kedua unsur itu sama-sama menanggung untung-rugi.

Manhaj Islam dalam hal ini adalah mendistribusikan kekayaan secara merata kepada masyarakat dan memutar kekayaan di antara mereka. Karena itu, alasan Islam membagi-bagikan harta rampasan—sebagai salah satu sumber kekayaan dalam Islam—kepada orang-orang yang berhak adalah agar kekayaan itu tidak terpusat pada tangan orang-orang kaya saja, melainkan berputar di antara masyarakat. Allah berfirman, 'Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.' (al-Hasyr: 7)

Yang menjadi perhatian Islam adalah agar individu-individu yang menjalankan bisnis itu adalah individu-individu yang memiliki sifat amanah, kapabilitas, dan komitmen. Hal inilah yang mendorong realisasi keadilan sosial dalam distribusi kekayaan dan penghasilan di tengah masyarakat.

Hancurnya Sumber-Sumber Ekonomi

Kredit sistem bunga lebih membidik program-progam yang tidak memiliki manfaat yang hakiki bagi kehidupan manusia, sehingga pada akhirnya mengakibatkan kehancuran sumber-sumber ekonomi. Bukti mencolok yang kita saksikan hari ini adalah banyak orang yang meminjam uang bank hanya untuk membeli perabotan rumah yang sifatnya, seperti kulkas, mesin cuci, televisi, atau barang-barang konsumsi seperti makanan dan minuman, dan benda-benda lain yang sifatnya untuk hiburan.

Pembiayaan dengan sistem bunga mengakibatkan kemudahan hutang-piutang, tanpa ada kaitan dengan kegiatan ekonomi yang konkret, dan hal ini pada gilirannya mengakibatkan dua hal:

Pertama, prosentase yang besar dari pinjaman individual itu lebih dialokasikan pada kebutuhan-kebutuhan jangka pendek daripada kebutuhan-kebutuhan jangka panjang. Hal ini menunjukkan kesemrawutan cara belanja di tengah masyarakat, sehingga mengakibatkan individu-individu lebih bergantung pada hutang untuk menjalankan kehidupannya sehari-hari.

Contoh, kalau seseorang membeli secara kredit kulkas dengan harga satu juta rupiah, maka manfaat dari kulkas itu sebanding dengan margin laba yang ditetapkan dalam jual-beli tempo. Ini adalah kegiatan ekonomi yang konkret. Tetapi jika seseorang meminjam uang 1 juta dan mengembalikan 1.5 juta, maka manfaat dari seratus lima ratus ribu itu ada kalanya sebanding dengan kelebihan nilai karena berlakunya pembayaran tempo, dan ada kalanya tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh kreditur. Bisa jadi uangnya itu habis untuk melunasi hutang, atau membiayai keluarga, atau membeli barang-barang konsumtif secara berlebih.

Perbedaan

Dengan contoh tersebut, kita bisa membedakan antara margin laba dan riba sebagai berikut:

1. Kelebihan dalam jual beli itu merupakan kompensasi pengadaan barang, sedangkan kelebihan dalam riba merupakan kompensasi terhadap pembayaran tempo semata.

2. Kelebihan dalam jual beli adalah kelebihan dalam barter yang sah antara dua benda yang berbeda bentuknya. Sedangkan kelebihan dalam hutang tidak, karena pembayarannya dengan satu jenis, dimana tidak boleh ada kelembihan dan kekuarangan di dalamnya.

3. Barang yang dijual itu diambil keuntungannya satu kali, dan meski demikian manfaatnya berlangsung, baik lama atau singkat. Hal itu berbeda dengan riba, dimana hutang diserahkan satu kali, tetapi ribanya atau manfaatnya berlangsung tanpa terputus.

4. Jual beli mengandung resiko dari dua segi: Pertama, resiko penurunan harga atau keausan barang ketika akan dijual. Kedua, resiko kerusakan saat barang itu masih ada di tangan penjual. Sementara harta riba itu tidak terkena resiko, melainkan sebagai pinjaman yang terjamin dan wajib dikembalikan.

Islam memberi setiap jenis modal itu keuntungan yang sesuai. Islam memberi modal SDM (pekerjaan) upah tetap atau saham (saham pekerja, misalnya), memberi keuntungan kepada modal asumtif berupa saham, bukan gaji tetap, dan memberi modal value berupa upah tetap, bukan saham, seperti sewa alat produki.

Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil

Sekali lagi, Islam mendorong praktek bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

  • Bunga : Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung. Bagi Hasil : Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
  • Bunga : Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. Bagi Hasil : Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
  • Bunga : Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. Bagi hasil : tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
  • Bunga : Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang "booming". Bagi hasil : Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
  • Bunga : Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan. Bagi hasil : Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

Keuntungan

Keuntungan dalam bisnis ini adah hak kedua belah pihak, yang pembagiannya harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh hukum Islam :

  1. Diketahui secara jelas yang ditegaskan saat transaksi dengan prosentase tertentu bagi investor dan pengelola modal. Yang perlu diingat, prosentasi ini bukan dari modal tapi dari keuntungan. Kesalahan yang sering terjadi adalah investor mendapatkan keunungan dari prosentase modal. Misalnya 10 % dari modal, apalagi ada embel-embel perbulan. Ini jelas-jelas haram karena yang seperti ini termasuk  riba.
  2. Keuntungan dibagikan dengan prosentase yang sifatnya merata, seperti setengah, sepertiga atau seperempat dan sejenisnya. Kalau ditetapkan sejumlah keuntungan pasti (misalnya 5 juta) bagi salah satu pihak, sementara sisanya untuk pihak lain, maka  menurut kesepakatan ulama investasi  ini tidak sah , tanpa perlu diperdebatkan lagi.

Cara Pembagian Keuntungan

Ada dua cara dalam pelaksanaan pembagian keuntungan yaitu :

1. Perhitungan akhir terhadap usaha. Dengan cara ini pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan menyelesaikan atau mengakhiri ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.

2. Perhitungan akhir terhadap kalkulasi keuntungan. Dengan cara ini penguangan aset dan menghadirkannya lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif, dan pemilik modal bisa mengambilnya, atau kalau ia ingin modal itu diputar kembali, berarti harus dilakukan akad perjanian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.


 

Diambil dari berbagai sumber

Jumat, 14 Mei 2010

Teori Penawaran

Permintaan adalah banyaknya jumlah barang yang diminta pada suatu pasar tertentu dengan tingkat harga tertentu pada tingkat pendapatan tertentu dan dalam periode tertentu. Permintaan pada suatu barang dipengaruhi oleh beberapa hal sebagain berikut :

  1. Harga barang itu sendiri.(Px)
  2. Harga barang lain. (Py)
  3. Pendapatan konsumen. (Inc)
  4. Cita rasa. (T)
  5. Iklim. (S)
  6. Jumlah penduduk. (POP)
  7. Ramalan masa yang akan dating. (F)

Dengan persamaan Qd = F.(Px, Py, Ine,T,S, Pop,F

Hukum permintaan pada hakikatnya merupakan suatu hipotesis yang menyatakan : "Hubungan antara barang yang diminta dengan harga barang tersebut dimana hubungan berbanding terbalik yaitu ketika harga meningkat atau naik maka jumlah barang yang diminta akan menurun dan sebaliknya apabila harga turun jumlah barang meningkat."

Kurva Permintaan

Kurva Permintaan dapat didefinisikan sebagai : "Suatu kurva yang menggambarkan sifat hubungan antara harga suatu barang tertentu dengan jumlah barang tersebut yang diminta para pembeli." Kurva permintaan berbagai jenis barang pada umumnya menurun dari kiri ke kanan bawah. Kurva yang demikian disebabkan oleh sifat hubungan antara harga dan jumlah yang diminta yang mempunyai sifat hubungan terbalik.


 

Diambil dari beberapa sumber.

Pasar tradisional dan Pasar Modern

Sekarang pasar modern sudah menjadi gaya hidup sebagian besar masyarakat di Indonesia. Supermarket atau minimarket dapat dijumpai dimana-manal dengan harga yang menarik dan perkembangan yang pesat sekarang. Namun hal ini membuat para pedagang dipasar tradisional protes. Pemerintah juga memihak pada pasar tradisional karena bias menjadi sektor pemasukan bagi daerah. Kebijakan pemerintah tentang pasar tradisional misalnya mengatur lokasi pasar modern tidak boleh berdekatan dengan pasar tradisional, pasar modern hanya boleh buka diatas jam 10, dan jika diadakan renovasi maka pedagang lama harus diprioriitaskan dan tidak boleh dirugikan secara sepihak. Tetapi peraturan ini bergantung kepada pemerintah daerah. Sudah membudaya bagi orang Indonesia untuk berbelanja di pasar tradisional karena dapat tawar menawar tidak seperti pada pasar modern yang sudah diberi label.


 

Diambil dari berbagai sumber